Sabtu, 29 Juni 2013
Ayah Melupakan
Kita tidak pernah memahami diri sendiri begitu jelas seperti ketika kita berada didalam kepenuhan cahaya cinta untuk orang lain
Dengar nak, aku mengatakan hal ini saat kau tertidur, tangan mungilmu tergenggam dibawah dagumu dan rambut pirangmu yang keriting menempel di dahimu. Aku mencuri- curi masuk ke kamarmu sendirian. Baru beberapa menit yang lalu, saat aku duduk membaca Koran di perpustakaan, sebuah gelombang penyesalan yang mencekik melandaku. Dengan perasaan bersalah, aku mendatangi sisi tempat tidurmu.
 Hal- hal inilah yang sedang aku pikirkan, nak. Aku bertentangan denganmu. Aku membentakmu ketika kau sedang berpakaian untuk pergi ke sekolah karena kamu hanya mengelap mukamu denga handuk. Aku memberimu tugas karena kau tidak membersihkan sepatumu. Aku berteriak dengan marah ketika kau melempar beberapa barangmu ke lantai.
 Saat makan pagi, aku menemukan kesalahan juga. Kau menumpahkan macam- macam. Kau mengemut makananmu. Kau meletakkan sikumu di atas meja. Kau mengolesi rotimu dengan mentega. Dan ketika kau mulai bermain dan aku mulai mengarahkanmu, kau berbalik dan melambaikan tanganmu dan berkata, “selamat tinggal, ayah!” dan aku merengut dan menjawab, “kembali ke mari!”
 Dan semuanya mulai terjadi lagi di siang harinaya. Saat aku keluar rumah, aku memperhatikanmu, sedang berlutut main kelereng. Ada lubang- lubang di kaos kakimu. Aku merendahkanmu di depan teman- temanmu denagn menyuruhmu berjalan pulang di depanku. Kaos kaki itumahal harganya dan jika kau yang harus membelinya, kau pasti akan lebih berhati- hati! Bayangkanlah itu nak, dari seorang ayah!
 Apakah kau ingat setelahnya, ketika aku sedang membaca di perpustakaan, bagaimana kau masuk dengan takut- takut, dan tatapan terluka dimatamu?
Ketika aku melirik dari balik koranku, tidak sabar menunggu interupsimu, kau tamp[ak ragu- ragu di depan pintu. “Apa yang kau inginkan?” aku berkata tak sabar.
 Kau tidak mengatakan apa- apa, tetapi berlari melintas dalam sebuah dorongan emosi, dan memeluk leherku dan menciumiku dan tangan mungilmu memeluk erat penuh cinta yang Allah tumbuhkan di hatimu. Dan kemudian kau pergi menaiki tangga.
 Baiklah nak, segera sesudah itu aku menaruh koranku dan sebuah ketakutan yang menyakitkan melandaku. Kebiasaan apa yang aku perbuat?
Kebiasaan mencari-a cari kesalahan, dengan  mengomeli adalah penghargaan untukmu karena menjadi seorang anak laki- laki. Itu bukan karena aku tidak mengasihimu. Itu karena aku terlalu banyak mengharapkanmu, dan aku mengukurmu dengan ukuranku.
Dan ada begitu banyak hal- hal baik, indah dan benar dalam karaktermu. Hati kecil seluas fajar yang meliputi perbukitan . hal ini kau tunjukkan melalui spontanitasmu untuk masuk menemuiku dan member ciuman selamat malam untukku.
 Bukan masalah, kalau malam ini aku datang di sisi tempat tidurmudalam kegelapan, dan aku berlutut disana merasa malu!
Ini adalah saat yang melemahkan . aku tahu kau tidak akan mengerti hal- hal ini jika aku mengatakan padamu saat kau terbangun. Tetapi esok, aku akan menjadi seorang ayah yang sesungguhnya ! aku akan berteman denganmu, menderita saat kau menderita, dan tertawa saat kau tertawa. Aku akan menggigit lidahku saat kata- kata tak sabar datang. Aku akan tetap mengatakan hal ini seolah- olah sebuah ritual: “Dia hanya seorang anak laki- laki kecil dan membiarkannya menjadi anak laki- laki kecil!”
 Aku khawatir telah menganggapmu sebagai laki- laki dewasa. Hingga saat kau melihatmu sekarang nak, meringkuk dan kelelahan ditempat tidurmu. Aku melihat bahwa kau masih seorang bayi. 
Kemarin kau berada dalam gendongan ibumu, kepalamu ada di bahunya. Aku memintamu terlalu banyak, sedangkan memberi diriku terlalu sedikit. Berjanjilah, saat aku mengajarimu untuk bersikap sebagai seorang laki- laki, kau akan mengingatkanku bagaimana mempunyai semangat mencintai seorang anak
Langganan:
Posting Komentar (Atom)

 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar